JAKARTA – Total temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dalam semester II 2008 jumlahnya mendekati Rp 30 triliun. Hal itu menunjukkan adanya kelemahan sistem pengendalian internal, ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara dan atau daerah.
Hal itu diungkapkan Ketua BPK, Anwar Nasution, dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2008 Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (21/4). Temuan BPK yang signifikan diantaranya pemeriksaan atas belanja yang menunjukkan kerugian pemerintah pusat sebesar Rp 25 miliar, dan pada belanja pemerintah daerah sebesar Rp 253 miliar.
Temuan besar lainnya yakni pada sektor pengelolaan tambang batu bara, yang menunjukkan kelemahan pada aspek perizinan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pengelolaan lingkungan. Akibat kelemahan tersebut, audit BPK menunjukkan 212 kasus senilai Rp2,69 triliun dan 779 juta dolar AS. Sebanyak 42 kasus diantarnya, dengan nilai Rp 2,55 triliun merupakan kekurangan penerimaan.
Terkait mengenai pengelolaan pinjaman luar negeri, seperti tahun-tahun sebelumnya, BPK menemukan sistem pencatatan pinjaman luar negeri (PLN) belum dapat menghasilkan informasi yang dapat dipercaya mengenai posisi dan jumlah penarikan pinjaman.
Kelemahan klausul kontrak pinjaman menambah be-ban.keuangan negara sebesar Rp 36 miliar, kelemahan pengelolaan mengakibatkan mengakibatkan hasil proyek darid ana pinjaman senilai Rp 438 miliar tidak dapat dimanfaatkan.
“Keterlambatan pelaksanaan proyek juga mengakibatkan tambahan biaya sebesar Rp 2 triliun,” ujar Anwar.
Sementara pemeriksaan atas pelaksanaan kontrak kerja sama migas dan gas bumi menunjukkan kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan UU yang mengakibatkan kekurangan peenrimaan Rp 14,58 triliun
BPK juga mengingatkan bahwa pemerintah masih dirugikan dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (KKS) minyak dan gas bumi. BPK menemukan kekurangan penerimaan negara akibat kelemahan sistem pengendalian intern dan peraturan senilai Rp 14,58 triliun.
Anwar mengungkapkan, seharusnya pemerintah lebih tegas dalam membuat peraturan khususnya terkait biaya-biaya yang masuk dalam cost recovery.
“Pelaksanaan KKS menunjukkan adanya kelemahan sstem pengendalian intern dan-ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut mengakibatkan kekurangan penerimaan senilai Rp 14,58 triliun,” ujar Anwar.
Dari jumlah tersebut, Rp 14,4 triliun merupakan kekurangan penerimaan perhitungan kembali bagi hasil Pertamina Petroleum Contract (PPC) dan Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina (KMGBP) periode 2003-2007.
*Republika*