DEMI EFISIENSI ANGGARAN
Jakarta – Anggota Pembina Auditama III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang menyarankan pemerintahan baru untuk merampingkan kementerian dan lembaga (K/L). Terutama lembaga yang memiliki kesamaan tugas dan fungsi. Langkah ini sebagai salah satu solusi mengurangi pemborosan anggaran.
NERACA
Menurut dia perampingan K/L, selain menciptakan efektifitas kerja di antara kementerian dan lembaga, langkah tersebut pun berguna menghemat pengeluaran negara. Di samping itu, perampingan K/L juga akan mempermudah audit keuangan, yang sekarang ini menjadi tanggung jawab BPK.
“Sebagai contoh saja, mengapa Kementerian Ristek, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan BPPT (Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi) harus dipisah?” kata Baharuddin setengah bertanya, pada acara penyerahan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Departe-men/Lembaga tahun anggaran 2008 di Jakarta, Kamis (30/7).
“Juga mengapa LAN (Lembaga Administrasi Negara), Menteri PAN, BKN (Badan Kepegawaian Negara) harus dipisah. Padahal jika digabung lebih efisien,” sambung Baharuddin sambil mewanti-wanti, pendapatnya ini sebagai pengamat dan bukan mewakili pandangan BPK.
Lebih jauh, ia juga menilai jumlah departemen di Indonesia masih sangat besar. Total ada 36 departe-men. Ini masih ditambah 22 lembaga non departemen lainnya. Jadi secara keseluruhan ada 58 departemen. Bandingkan dengan negara China yang sangat besar sekalipun, menurut dia, hanya memiliki 24 departemen.
“Di China 24 bahkan ada yang bilang 20. Berapa biaya yang harus dikeluarkan kalau 36 departemen. Belum lagi LPND (lembaga pemerintah non departemen) ada 22. Ini masih ditambah dengan Bapenas, lembaga kuasi negara, dan itu semuanya dibiayai negara. Saya kira ini semua perlu dievaluasi kembali,” ungkap Baharuddin.
Semua lembaga itu, kata dia, operasionalnya menggunakan uang negara. Oleh karenanya dalam waktu empat bulan menjelang pergantian pemerintahan, agar presiden yang terpilih bisa mengevaluasi, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh negara ini. “Semua ini kan tergantung presiden, jadi jangan sebut menterinya dulu, tapi tujuan mau apa, target bagaimana kemudian baru struktur ditentukan,” katanya.
KPU dan Perkara MA
Dalam kesempatan tersebut, Baharuddin juga menyampaikan bahwa BPKakan melakukan pemeriksaan (audit) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hasilnya diumumkan pada Oktober 2009. “Audit sedang berjalan, sudah disiapkan mulai 20 Juni, audit dilakukan sampai 10 September, Oktober diumumkan,” kata dia.
Menurut dia, jika masih ada masalah yang berkaitan dengan teknologi informasi (TI) dan masalah khusus lainnya, akan diperiksa oleh keanggotaan BPK yang baru. “Kalau yang menyangkut laporan keuangan periode sebelum kita berakhir, masih kita (keanggotaan lama) yang memeriksa,” katanya.
Ia menyebutkan, berbagai kasus di KPU pada masa lalu terungkap setelah BPK melakukan audit terhadap KPU. Ketika ditanya dari laporan yang masuk apakah sudah ada indikasi penyimpangan yang merugikan keuangan negara, Baharuddin mengatakan, hingga saat ini masih normal-normal saja. “Kita tidak boleh menduga-duga, kalau ada nanti kita serahkan saja ke pihak berwajib, kalaupun ada unsur kerugian negara bisa jadi karena faktor administrasi,” katanya.
Sementara itu mengenai pemeriksaan terhadap biaya perkara di Mahkamah Agung (MA), Baharuddin mengatakan, sudah ada kesepakatan, sehingga BPK mulai tahun 2009 sudah mulai mengaudit biaya perkara 2009. Meski hanya tahun 2009, langkah audit ini sudah menjadi langkah maju BPK dalam mengaudit biaya perkara MA.
Baharuddin mengatakan audit yang akan dilakukan tetap fokus pada lapo-ran keuangan khususnya anggaran rutin APBN, yang nantinya biaya perkara akan dimasukan dalam audit.” Tapi mungkin nanti kita akan buat tekniknya mana yang sudah siap karena ini adalah hal yang baru,” katanya.
Penurunan Disclaimer
Dalam kesempatan tersebut, Baharuddin juga menyampaikan laporan BPK yang mencatat terjadi penurunan status disclaimer Laporan Keuangan K/L pada periode tahun keuangan 2007-2008. Jumlah disclaimer sebelumnya mencapai 11 entitas menjadi 5 entititas pada tahun 2008.
Aritonang menjelaskan dari 33 K/L yang diperiksa BPK pada tahun 2008, sebanyak 13 entitas mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP), termasuk satu entitas WTP dengan penjelasan. Untuk opini wajar dengan pengecualian (WDP) sebanyak 14 entitas dan 5 untuk opini disclaimer. “Opini 2008 dengan opini 2007 mengalami perbaikan untuk WTP meningkat dari 5 entitas menjadi 14, untuk WDP turun dari 18 jadi 14 dan disclaimer turun dari 11 jadi 5,” jelasnya.
Namun demikian, lanjut dia, pada prinsipnya munculnya opini disclaimer umumnya karena masalah aset “Pada umumnya masalah ini terjadi karena organisasi dari instansi kita kerap berubah-ubah,” katanya.
Contohnya, sekarang ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dahulu belum ada, juga muncul Kementerian Budpar dan Sosial yang dulu pernah hilang.
*Harian Ekonomi Neraca