Laporan BPK yang disampaikan ke DPR hanya jadi temuan sambil lalu.
BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian akibat pengelolaan keuangan negara menyimpang sebesar Rp30 triliun. Itu diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas laporan keuangan negara pada semester II 2008.
“Hasil pemeriksaan menyimpulkan adanya kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara,” papar Ketua BPK Anwar Nasution dalam pidato penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2008 kepada DPR, kemarin.
Kenyataan tersebut mengakibatkan kerugian dan potensi kerugian negara. Di samping itu, menyebabkan kekurangan penerimaan, bahkan ada indikasi tindak pidana.
Pengamat ekonomi Hendri Saparini menyesalkan tidak adanya mekanisme yang jelas dalam menindaklanjuti temuan BPK. Akibatnya, negara harus merugi karena anggaran selalu dikorupsi.
“Laporan BPK yang disampaikan ke DPR hanya jadi temuan sambil lalu. Tidak ada perbaikan dan selalu ada potensi kerugian negara,” ujarnya.
Potensi kerugian negara paling besar terjadi pada pelaksanaan kontrak kerja sama (KKS) minyak dan gas bumi senilai Rp14,58 triliun. Dari jumlah tersebut, Rpl4,4 triliun merupakan kekurangan penerimaan penghitungan kembali bagi hasil kontrak migas Pertamina periode 2003-2007.
Sisanya, sebanyak Rpl 74,49 miliar merupakan koreksi penghitungan bagi hasil padapelaksanaan lima KKS migas.
Pengelolaan tambang batu bara juga berpotensi merugikan negara Rp2,69 triliun dan US$779 juta. Temuan tersebut meliputi ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang termasuk aspek perizinan, penerimaan negara bukan pajak, dan pengelolaan lingkungan.
BPK juga menemukan penyimpangan atas pengelolaan pinjaman luar negeri yang mengakibatkan tambahan biaya minimal Rp2 triliun. Temuanlainnya adalah kelemahan program dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana pendidikan lainnya.
Kelemahan itu berupa keterlambatan penyaluran dana, penggunaan tidak sesuai dengan petunjuk teknis, sisa dana yang tidak disetor ke kas negara, dan ketidakjelasan status aset bantuan pemerintah pusat. Sebanyak 2.592 sekolah tidak mencantumkan seluruh peperimaan dana BOS dan dana lainnya dalam rencana anggaran dan pendapatan belanja sekolah senilai Rp624 miliar.
Pemeriksaan di bidang manajemen kehutanan juga menemukan adanya kekurangan penerimaan sebanyak Rp320 miliar dan US$26 juta. Adapun untuk pemeriksaan atas pelaksanaan belanja menunjukkan adanya kerugian negara yakni Rp25 miliar untuk belanja pusat dan Rp253 miliar untuk belanja daerah.
LKPD memburuk Hasil temuan BPK juga menunjukkan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) kian memburuk dalam lima tahun terakhir. Untuk periode 2007, terdapat 26% LKPD diberi opini TMP (tidak memberikan pendapat) atau disclaimer.
Padahal, pada 2004, LKPD yang disclaimer hanya 2%, pada 2005 naik menjadi 7%, dan pada 2006 melonjak menjadi 23%. Di lain pihak, persentase laporan dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang merupakan opini terbaik atas laporan keuangan makin menciut Pada 2004, opini WTP 7%, tahun berikutnya 5%, pada 2006dan 2007 hanya 1%. Hendri Saparini menyarankan dibentuknya badan tersendiri di DPR yang khusus menangani temuan BPK.
*Media Indonesia*