Jakarta- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, mengatakan sejak tahun 2005 hingga saat ini jumlah rekening liar pemerintah terus meningkat dengan nilai uang yang semakin besar.

“Ribuan rekening liar itu tidak terkonsolidasi dalam suatau rekening bendahara negara yang dipastikan tidak mengetahui posisi keuangan negara secara sebenarnya, ” kata Anwar Nasution dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, Selasa (21 / 4).

Sedangkan mengenai pemasukan uang negara dari pajak dan non-pajak dari berbagai instansi pemerintah, menurutnya. BPK tidak mengetahui sama sekali karena BPK tidak dapal melakukan pemeriksaan penerimaan, penyetoran dan penyimpanan keuangan negara.

Ia menjelaskan akses BPK sangat terbatas untuk memeriksa BUMN dan BUMD serta jumlah pinjaman luar negeri. Selain sangat sulit karena tidak memiliki akses, juga karena administrasinya kacau sehingga rawan terjadinya penyelewengan penggunaan uang.

“BPK tidak bisa memberikan pembinaan administrasi perpajakan, karena UU melarang BPK campur tangan dalam urusan penerimaan negara dari pajak,” ujarya.

Dia menilai karena buruknya administrasi perpajakan, maka keringanan pajak bukan merupakan kebijakan yang ampuh untuk menggerakkan ekonomi nasional. Karena wajib pajak bisa lebih mudah lagi untuk mengelak dari kewajiban membayar pajak.

“Saat ini kejahatan tidak membayar pajak, termasuk melakukan transfer pricing juga marak.” katanya. Ia menambahkan administrasi pajak yang buruk, tercermin dari rendahnya persentase jumlah pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP) di-bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Pendendallan pinjaman LN

Anwar Nasuion juga mengungkapkan hasil pemeriksaan BPK pada Semester II 2008 menyimpulkan sistem pengendalian atas pengelolaan pinjaman luar negeri (LN) masih lemah.

“Sistem pengendalian atas pengelolaan pinjaman LN yang berakitan dengan realisasi pinjaman, monitoring rekening khusus, dan pencatatan barang milik negara (BMN) masih lemah,” ungkapnya.

Ia menyebutkan pada Semester II 2008, BPK melakukan pemeriksaan berbagai hal termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas pengelolaan pinjaman LN.

Pemeriksaan dilakukan terhadap institusi pengelola pinjaman LN yakni Depkeu. Kementerian PPN/Bappenas, dan pengguna pinjaman LN yang terdiri dari 9 K/ L serta 8 BUMN yang mencakup 66 naskah pinjaman senilai Rp45.29 triliun.

Menurut BPK, prosedur perencanaan dan penarikan pinjaman yang telah dirancang tidak berjalan secara efektif.

Klausul mengenal biaya asuransi, biaya komitmen, dan biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam naskah perjanjian menambah beban keuangan negara minimal senilai Rp36 miliar.

Lemahnya perencanaan, koordinasi, dan monitoring mengakibatkan beberapahasil proyek dengan pinjaman LN senilai Rp438 miliar tidak dapat dimanfaatkan atau tidak dimanfaatkan secara optimal, serta adanya tambahan biaya minimal senilai Rp2 triliun terkait keterlambatan pelaksanaan proyek.

Hasil pemeriksaan BPK yang perlu mendapat perhatian serius dari entitas terkait adalah sistem pencatatan pinjaman LN.

Sistem pencatatan pinjaman LN belum dapat menghasilkan informasi mengenal pinjaman LN secara andal, sehingga tidak ada sumber informasi mengenai posisi dan penarikan pinjaman yang dapat digunakan pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan secara meyakinkan

*Pelita*