Semarang, 29/6 (ANTARA) – Badan Pemeriksa Keuangan menganggap pemberian uang jasa pengabdian kepada anggota DPRD Jawa Tengah sudah sesuai aturan sehingga tidak perlu ada keraguan untuk menerimanya.
“Jika aturan tentang pemberian uang jasa pengabdiannya saja sudah jelas, tentu tidak perlu ada keraguan untuk menerimanya,” kata Anggota Pembina Utama V BPK, Hasan Bisri di Semarang, Senin.
Ia mempersilakan dana tersebut dianggarkan karena peraturannya sudah ada dan formula perhitungan juga tersedia.
“Berbeda jika aturannya tidak ada, tentu tidak bisa menganggarkannya. Akan tetapi, anggaran dana ini biasanya disesuaikan dengan kemampuan pemda setempat,” ujarnya.
“Kami juga prihatin dengan ketakutan sejumlah pimpinan dewan tidak berani menerima dana penunjang lainnya,” ujarnya.
Disinggung soal apakah BPK dapat memberikan pernyataan tertulis untuk menjadi bukti pembenar, kata Hasan, pihaknya tidak dapat melakukan hal tersebut karena dapat dikategorikan terlibat dalam pelaksanaan tersebut.
“BPK tidak boleh terlibat, termasuk memberikan referensi tertulis,” ujarnya.
Hasan mengingatkan, setiap anggota dewan harus siap menerima kritikan dari masyarakat karena masyarakat memang menginginkan anggota dewan benar-benar bersih.
“Jadi jangan heran, apabila muncul wacana anggota dewan akan menerima dana jasa pengabdian harus mendapatkan kritikan masyarakat,” ujarnya.
Pernyataan tersebut sekaligus menjawab pertanyaan Ketua DPRD Jateng, Murdoko, terkait kesediaan BPK memberikan referensi tertulis untuk menjadi dasar anggota dewan dalam menerima uang jasa pengabdian
“Kekhawatiran kami menerima dana tersebut, justru ketika purnabakti, karena pengalaman sebelumnya persoalan muncul setelah menjabat, sedangkan saat masih menjabat mungkin tidak terjadi apa-apa,” ujar Murdoko.
Anggota DPRD Jateng Soejatno Pedro HD menambahkann, pihaknya memang mengetahui adanya regulasi yang mengatur pemberian dana jasa pengabdian tersebut.
“Akan tetapi, tidak ada salahnya jika kami juga mencoba memanfaatkan kesempatan bertemu BPK untuk berkonsultasi tanpa harus mendatangi kantornya. Hal ini sekaligus untuk merespons usulan KP2KKN Jateng agar berkonsultasi dengan BPK sebelum menerima uang jasa pengabdian tersebut,” ujarnya.
Menurut dia, munculnya uang jasa pengabdian juga bukan atas kehendak dewan, melainkan sudah menjadi kebijakan pemerintah pusat dalam bentuk UU. “Kami di daerah hanya tinggal melaksanakan saja,” ujarnya.
Bahkan, lanjut politikus Partai Golkar itu, seorang anggota dewan yang tidak berprestasi juga akan mendapatkan hak serupa menerima uang jasa pengabdian.
“Istilahnya, dewan yang kerjanya duduk dan tidur tetap mendapatkan uang tersebut. Hanya saja, yang menjadi pertanyaannya apakah secara moral dia pantas menerima atau tidak,” tukasnya.
Komisi Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng juga mengakui, uang jasa pengabdian yang akan diterima para anggota dewan secara hukum tidak salah karena dalam PP 24/2004 yang mengatur tentang jasa pengabdian secara jelas dan tegas.
Sementara dana purnabakti atau sejenisnya untuk anggota dewan pada masa periode 2004-2009 hanya berdasarkan pada PP No.110/2000. Namun, di dalam peraturan itu tidak mengatur secara jelas sehingga dalam praktiknya muncul berbagai variasi nama di DPRD kabupaten/kota maupun provinsi.
Akhirnya, beberapa anggota DPRD kabupaten/kota atau provinsi lain tersandung masalah hukum dengan dugaan korupsi.
*antara.co.id