JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih menemukan sejumlah kejanggalan dalam Laporan Keuangan Kementeri-an/Lembaga (LKKL) 2008.
Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Syafri Adnan Baharuddin menuturkan sejauh ini baru 12 Kementerian/Lembaga (K/L) yang telah diperiksa dalam LKKL 2008. Meski secara umum sudah mengalami perbaikan, masih ada beberapa proses administrasi dan inventarisasi LKKL yang belum tertib.
Pertama, klasifikasi belanja tidak sesuai dengan peruntukannya. Kedua, penggunaan langsung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang menyalahi aturan. Ketiga, ketidaksesuaianantara pertanggungjawaban belanja negara pada akhir tahun dengan realisasi fisik.
Keempat, belum tercatatnya sejumlah hibah yang diterima langsung oleh K/L.
“Tapi secara garis besar kita boleh bergembira, ada upaya untuk memperbaiki (LKKL). So far so good,” jelasnya dalam forum mitra BPK -Inspektur Jenderal, kemarin.
Sjafrie mencontohkan Departemen Keuangan yang dalam proses penerimaan hasil penyelesaian kewajiban pemegang saham BLBI dan hasil usaha panas bumi masih belum melalui mekanisme APBN. Demikian pula dengan proses reimbursement atas pajak pertambahan ni-lai(PPN) panas bumi yang belum mengacu pada prosedur resti-tusi. “Ini yang menjadi salah satu penyebab opini disclaimer.
Memen Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui pengelolaan keuangan negara masih membutuhkan perbaikan kendati sudah menunjukkan perubahan. Menurut dia, beberapa instansi pemerintah masih menganggap penerimaan negara sebagai penerimaan sendiri sehingga tidak mencatatkannya dalam LKKL.
“Seperti pengelolaan dana bergulir atau PNBP. Ada habit jika ada fasilitas yang menghasilkan penerimaan, seperti gedung pertemuan hanya menjadi penerimaan unit itu sendiri. Bahkan penerimaan tersebut dikelola dalam koperasi karyawan,” paparnya.
Meski niatnya baik, lanjutnya, dari sisi pemerintahan itu menja-di kurang baik untuk dilaporkan dalam laporan keuangan. Karena itu, peran auditor eksternal seperti BPK dibutuhkan guna menjalankan fungsi checks and balances. “Tanpa sistem pengawasan, pemerintahan pasti cenderung korup.”
Kontrak kinerja
Di sisi lain, Sri Mulyani menuturkan telah membuat kontrak kinerja dengan seluruh pejabat eselon I Depkeu untuk mengubah kultur kurang membangun di lingkungannya. Kontrak kinerja tersebut difungsikan bukan untuk mencari kesalahan dari para pejabatnya, melainkan lebih difungsikan sebagai alat manajemen.
“Kultur ini bisa diikat dalam bentuk kinerja yang makin eks-plisit dan ini bisa dijadikan indikator, apakah yang bersangkutan perform atau tidak.”
Atas dasar itu, kontrak kinerja tidak akan memberikan sanksi tegas kepada para pejabatnya yang tidak dapat memenuhinya. Namun, ini menjadi indikator evaluasi kompetensi pejabat yang memengaruhi putusan Menkeu dalam mempromosikan jabatan, memutasi dan memberikan remunerasi.
“Ujung terakhirnya pada promosi, mutasi, evaluasi kompetensi, dan remunerasi. Jadi ini proses yang panjang.”
Selain Depkeu, BPK juga menyoroti upaya sejumlah K/L lain dalam mengubah opini disclaimer LKKL, a.l. Depdag, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Badan Pusat Statistik.
*Bisnis Indonesia*