JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta pemerintah menghentikan kebijakan pintu terbuka (open door policy) atas bantuan luar negeri untuk mengantisipasi dan penanggulangan risiko bencana. Kendati tidak harus menutup diri, namun pemerintah harus lebih selektif dan tertib administrasi dalam menerima bantuan asing.

“Open door policy tergantung dilakukan di mana. Kalau di Aceh, karena benar-benar terbatas sarananya, maka bisa dilakukan open door policy .Tapi kalau seperti bencana di Yogyakarta, karena sarana dan prasarananya mudah dijangkau, saya katakan open door policy tidak perlu dilakukan,” ujar Ketua BPK Anwar Nasution pada konferensi pers penutupan pertemuan BPK Advisory Board on Tsunami-Related Audit di Jakarta kemarin.

Anwar mengatakan, berkaca pada pengalaman penerimaan bantuan dan pembiayaan luar negeri untuk penanganan bencana tsunami Aceh beberapa tahun lalu, kebijakan pintu terbuka sangat menyulitkan upaya pencatatan di sisi pemerintah maupun audit pemeriksaan di sisi BPK. “Mirip piring spageti. Sama dengan ungkapan bangsa Indonesia, seperti bangsa cawan mi. Rumit sekali. Ada dana yang mengalir melalui LSM atau langsung diserahkan pemerintah negara donor ke pemerintah daerah,” katanya.

Kendati demikian, hasil audit yang dilakukan BPK terhadap aliran dana bantuan untuk penanggulangan tsunami Aceh dinilai cukup baik. Audit pemeriksaan BPK menemukan bantuan dari dalam dan luar negeri senilai USD493 juta. Perinciannya, bantuan, dari masyarakat Indonesia senilai USD104 juta (Rp998 miliar), bantuan lembaga internasional, swasta, dan LSM senilai USD207 juta (Rpl,98 triliun), dan alokasi APBNUSD182juta(Rpl,7triliun).

“Opini laporan hasil audit tsunami tahun 2007 mendapatkan status WTP (wajar tanpa pengecualian), sedangkan tahun 2008masih proses, karena pihak BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonsiliasi) minta waktu untuk membereskan dokumennya yang tersebar,” paparnya.

Anwar menambahkan, sepan-jang2005-2009,BPKtelahmelaku-kan audit terhadap 25 laporan pelaksanaan proyek/program bencana yang diproyeksikan mencatat keru gi an material bagi masyarakat Aceh dan sekitarnya. Nilainya diperkirakan mencapai USD4.5 miliar. Pemeriksaan terhadap 25 laporan itu melingkupi pemeriksa-anlaporan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Perwakilan BPK Jepang Hitoyuki Shigematsu meminta agar pemegang tanggung jawab pengelolaan dana bencana ke depan lebih ditegaskan. “Ini untuk memudahkan proses audit,” katanya.

Anggota BPK Uni Eropa, Maarten Engwirda, juga berpendapat agar pemerintah Indonesia lebih meningkatkan sistem administrasi bantuan dari luar negeri. Menurutnya, itu diperlukan untuk memudahkan proses audit, sehingga didapat satu keterangan bahwa dana bantuan disalurkan sebagaimana mestinya.

Walau begitu, kedua anggota perwakilan BPK luar negeri ini menilai penggunaan dana bencana dilakukan dengan baik. Dana dikelola dan didistribusikan kepada sasaran bantuan. “Secara umum penyerapan semua bantuan yang dikucurkan masyarakat Uni Eropa cukup baik,” kata dia.

BPK Advisory Board on Tsunami-Related Audit merupakan badan kerja sama yang mewakili lembaga pemeriksa negara/ donor pemberi bantuan bagi ben-canaTsun ami Aceh seperti Jepang, Uni Eropa, dan Australia. Badan yang dibentuk April 2005 ini bertugas memetakan pemeriksaan yang terkoordinasi untuk pemeriksaan, mengurangi duplikasi pemeriksaan, memaksimalkan efisiensi pemeriksaan dan meminimalkan biaya.

*Harian Seputar Indonesia