JAKARTA (Suara Karya) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan lima bentuk inisiatif untuk mempercepat pembangunan sistem keuangan negara yang transparan dan akuntabel Ini sesuai dengan semangat dalam paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara.semua terperiksa untuk menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK. Ketiga, membantu entitas pemerintah mencari jalan keluar untuk mengimplementasikan rencana aksi yang disusun dan diserahkan ke BPK. Keempat, mendorong perombakan struktural badan layanan umum (BLU), badan usaha milik negara/ daerah (BUMN/BUMD) serta yayasan maupun kegiatan bisnis yang terkait dengan kedinasan. Ini dilakukan agar menjadi lebih mandiri dan seperti korporat.
Kelima, BPK menyarankan kepada DPR, DPD, dan DPRD untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). “Ini perlu dibentuk agar lembaga legislatif dapat mewujudkan hak bujet serta mengawasi pelaksanaan anggaran negara dan program kerja pemerintah secara utuh,” tutur Anwar.
“Implementasi paket UU Keuangan Negara tahun 2003-2004 sangat lamban. Masa transisi untuk ketiga undang-undang ini tidak dapat dipenuhi,” kata Kepala BPK Anwar Nasution di Jakarta, Rabu (22/7).
Lambannya upaya pembangunan sistem keuangan ini, menurut dia, berkaitan dengan belum adanya upaya terpadu dari pemerintah untuk mengimplementasikan ketiga paket UU Keuangan Negara. Satu-satunya tugas BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan negara. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, BPK memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah serta DPR untuk membangun ataupun menyempurnakan sistem keuangan negara. “BPK tidak berwenang membangun sistem keuangan negara. Yang dapat dilakukan BPK hanya mendorong pemerintah dan DPR lebih punya perhatian untuk pembangunan sistem keuangan negara yang baik,” ujarnya.
Menurut Anwar, ada lima bentuk inisiatif BPK untuk mempercepat pembangunan sistem keuangan. Pertama, mewajibkan semua terperiksa menyerahkan management representation letter (MRL) kepada BPK. MRL merupakan pernyataan dari pimpinan instansi pemerintah yang bersangkutan bahwa laporan keuangan yang diserahkan ke BPK disajikan mengikuti standar akuntansi pemerintah (SAP) tahun 2005.
Kedua, mewajibkan
Akuntan
Di sisi lain, BPK mengusulkan agar tenaga-tenaga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) disebarluaskan ke departemen teknis dan pemerintah daerah (pemda). “Ini untuk mengatasi kelangkaan tenaga-tenaga akuntan di departemen atau pemda,” kata Anwar.
Menurut dia, tenaga-tenaga ini diharapkan sekaligus membangun sistem akuntansi pada instansi yang bersangkutan. Apalagi, pengelolaan keuangan di berbagai daerah hingga saat ini belum menggembi-rakan. Ini terlihat dari hasil audit BPK, di mana masih banyak yang mendapat predikat disclaimer (tidak ada pendapat).
Anwar menyebutkan, setidaknya ada sejumlah faktor penyebab lemahnya sumber daya manusia (SDM) untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas fiskal di Indonesia. Faktor pertama, terkait program pendidikan akuntansi di Indonesia, kurikulum, dan tenaga penga -jarnya. Siswa hanya diarahkan untuk tenaga pembukuan dan auditor barang-barang serta jasa privat yang dihasilkan dunia usaha. “Hampir tidak ada jurusan akuntansi di Indonesia yang mendidik akuntan untuk bergerak dalam jasa publik oleh sektor pemerintah,” katanya.
Faktor selanjutnya, baik pemerintah pusat maupun pemda memiliki jumlah SDM akuntan yang sangat terbatas. Padahal, UU Keuangan Negara menuntut baik pemerintah pusat maupun daerah, bahkan tiap satuan kerja di bawahnya, menyampaikan pertanggungjawaban keuangannya dalam bentuk laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi pemerintahan.
Terkait hal ini, Pit Menko Perekonomian/Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, berbagai peraturan yang menyangkut pegawai negeri sipil (PNS) terkadang tidak mengakomodasi tuntutan reformasi yang saat ini sedang gencar dilaksanakan. “Berbagai peraturan yang ada terkait PNS umumnya mengandung kultur tidak boleh membedakan,” katanya.
Menurut dia, dalam kondisi seperti itu sulit memberlakukan sistem reward and punishment, sehingga muncul istilah “pintar atau bodoh, gaji tetap sama saja”. Dalam kondisi seperti ini, banyak ditemukan PNS yang datang ke tempat kerja meskitidak jelas apa yang dikerjakan, atau bahkan tidak melakukan apa-apa. “Sulit diterapkan sanksi kepada mereka yang bersalah. Pemecatan juga sangat sulit dilakukan,” tuturnya.
Dia menyebutkan, saat ini Indonesia hanya bisa terkagum-kagum dengan efektivitas birokrasi di sejumlah negara, khususnya Singapura. “Masalah SDM merupakan masalah penting. Banyak yang menganggap hanya sebagai urusan eselon II. Padahal, ini merupakan intinya organisasi,” ujarnya.
Menkeu juga mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menjadikan PNS, termasuk di Depkeu, orang kaya. Namun, akan terus diupayakan mendapatkan tingkat kesejahteraan yang wajar. “Kalau mau menjadi kaya, silakan keluar dari PNS dan mungkin menjadi entrepreneur (pengusaha),” ucapnya.
Lebih jauh Anwar mengatakan, kementerian/ pemda menghadapi kendala dalam perekrutan pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengetahuan untuk mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.
Untuk itu, diperlukan pelatihan untuk peningkatan kapasitas SDM yang” baik. Sebab, selama ini pelatihan yang ada tidak dirancang dan dilaksanakan dengan program yang jelas dan terjadwal. Pelatihan pada umumnya dilakukan pemerintah berdasarkan tawaran dari luar pemerintah dan tidak dirancang sesuai kebutuhan internal.
“Perlu juga diperhatikan karier SDM pada bagian akuntansi dan keuangan yang pada umumnya kurang berkembang. Ini membuat SDM yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi lebih memilih karier di bagian fungsional, misalnya auditor,” ujar Anwar.
*Suara Karya