Masalah Aset Masih Jadi Kendala
JAKARTA (SI)- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali tidak memberikan opini (disclaimer) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2008.
Ketua BPK Anwar Nasution dalam penyampaian hasil pemeriksaan BPK terhadap LKPP 2008 kepada DPR menegaskan, perlu kerja keras bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem keuangan negara sehingga bisa meningkatkan kualitas LKPP ke depan.
“Seperti halnya empat tahun sebelumnya, opini pemeriksaan BPK atas LKPP tahun anggaran 2008 yang disampaikan hari ini adalah tidak menyatakan pendapat, disclaimer,” ujarnya di Ge-dungDPR Jakarta kemarin.
Menurut Anwar, terdapat sembilan masalah yang membuat LKPP 2008 kembali disclaimer. Permasalahan itu merupakan gabungan antara ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerin-tah2005,kelemahan pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan data BPK, masalah pertama dari sembilan masalah itu adalah ketidaksinkronan UU Keuangan
Negara Tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dari masalah ini terdapat sejumlah temuan seperti ketidakjelasan kriteria pemberian dana alokasi khusus senilai Rpl,3 triliun dan tidak adanya pembagian dana hasil migasRpl,9 triliun.
Masalah kedua, masih adanya berbagai pungutan tanpa memiliki dasar hukum dan dikelola dengan mekanismeAPBN.ini ditunjukkan pungutan Rp731 miliar oleh 11 kementerian/lembaga (K/L) yang dinilai tak didasarkan hukum dan dikelola di luar mekanisme APBN, penerimaan hibah tak tercatat di APBN senilai Rp3,93 triliun pada 15 K/L dan ketidakjelasan pertanggungjawaban belanja sosial Rp3 triliun. “Hampir semua departemen memiliki anggaran bantuan sosial yang bersifat sporadis tanpa adanya koordinasi,” kata Anwar.
Masalah ketiga, belum adanya keterpaduan antara sistem akuntansi umum (SAU) Departemen Ke-uangan dengan sistem akuntansi instansi (SAI) departemen/ lem-baga.Inimengakibatkanmasihada-nya selisih perhitungan anggaran di kedua lembaga pemerintah.
Masalah keempat adalah rekening liar yang belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam treasury angtcaccountdan kesalahan pembu-kuan. Untuk kesalahan pembukuan terdapat penarikan pinjaman Rp27,88 triliun tak terekonsiliasi. Begitu juga sisa anggaran lebih 2004-2008 senilai Rp5,42 triliun tak bisa dijelaskan pemerintah.
Masalah kelima, lambatnya inventarisasi aset negara dengan penilaian belum seragam. BPK mencatat, inventarisasi aset tetap pada 12.053 dari 22.307 satuan kerja belum selesai dilakukan di mana revaluasi aset atas 8.200 satuankerjasenilaiRp77,32triliun belum dibukukan.
Empat masalah terakhir adalah belum adanya program sistem teknologi informasi pemerintah, keterbatasan SDM dalam bidang akuntansi, kurangnya kontrol dan pemberdayaan pengawas intertial seperti inspektur jenderal dan badan pengawas daerah, serta tetap tidak jelasnya peran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah.
Kelemahan sistem keuangan negara, sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan atas aturan perundang-undangan, me-nurutAnwar,terus berulang-ulang. Ini menggambarkan kelambanan pemerintah memperbaiki sistem kenangan sesuai rekomendasi BPK sejak 2004-2007. Dari total 131 temuan BPK sepanjang tahun itu, 81 temuan di antaranya merupakan temuan yang berulang-ulang.
Kendati begitu, tutur Anwar, BPK mencatat sejumlah kemajuan di mana jumlah K/L yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terus meningkat. Tahun 2008, jumlah K/L penerima WTP mencapai 34 K/L naik dari 16 K/L tahun 2007, bahkan lebih besar dari7K/Ltahun2006.
Deputi Kepala BPKP Binsar Ha-monangan Simanjuntak mengatakan, pemerintah kesulitan meningkatkan opini kualitas LKPP akibat masalah pencatatan aset sejak masa lalu. Ini mengakibatkan jumlah pasti kekayaan negara tak bisa dipastikan sehingga memengaruhi kualitas LKPP. “Pencatatan aset baru dilakukan 2004, jadi perlu kerja keras mengatasi masalah aset ini,” katanya.
*Harian Seputar Indonesia*