JAKARTA, KOMPAS – Badan Pemeriksa Keuangan menilai pemerintah dan DPR tidak memiliki pedoman yang jelas untuk menyikapi aspirasi masyarakat yang menginginkan adanya pemekaran daerah atau membentuk daerah otonomi baru.
Terbukti, dari hasil pemeriksaan kinerja atas proses administrasi pemekaran daerah, pemekaran yang dilakukan pemerintah dan DPR sejak 1999 hingga 2008, sebanyak 203 daerah hasil pemekaran baru belum didukung suatu rancangan besar (grand design) yang mengatur arah dan kebijakan strategi pemekaran serta prediksi jumlah daerah otonom yang ideal.
Demikian terungkap dari laporan hasil pemeriksaan semester (hapsem) semester II BPK yang disampaikan kepada DPR, Selasa (21/4). Dalam acara itu, hadir Ketua BPK Anwar Nasution yang didampingi sejumlah anggota BPK, seperti Baharuddin Aritonang dan Agung Ray.
Bahkan, sebanyak 97 daerah otonom baru (DAB) terungkap tidak melalui keputusan sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).
Menurut Baharuddin, baru pemekaran tahun 2003-2008 melalui proses observasi. Namun, penetapan konsultan dan tenaga ahli yang melakukan kajian tidak melalui proses seleksi yang kompetitif. Penunjukan konsultan juga tidak secara resmi dan formalserta tak diikat perjanjian sah.
“Observasi temyata sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh calon daerah yang dimekarkan serta menggunakan konsultan yang sama dalam melakukan kajian teknis. Depdagri juga belum memiliki metodologi untuk melakukan observasi,” katanya.
Menurut Baharuddin, pemekaran harus melalui persyaratan administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan yang menjadi domain pemerintah. Di sisi lain, penetapan undang-undang pembentukan daerah baru menjadi domain bersama pemerintah dan DPR “Namun, dalam praktiknya, gagasan pemekaran daerah umumnya merupakan inisiatif DPR” ujar Baharuddin.
*Kompas*