BEKASI – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan adanya penyimpangan keuangan daerah Kota Bekasi dari sektor pendapatan senilai Rp 83 miliar atau 11 persen dari total pemeriksaan Hp 732 miliar. Dalam laporan BPK itu juga disebutkan, ada 14 item sumber dana pendapatan yang tidak jelas wujudnya.
Hasil audit periode Januari-Agustus 2008 itu telah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi. “Kami diminta BPK menyelesaikan masalah-masalah penyimpangan anggaran itu dalam waktu 60 hari setelah surat hasil audit ini turun,” kata Sutriyono, ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Senin (6/4).
Hasil audit BPK terhadap keuangan daerah Kota Bekasi itu terbit pada 12 Maret, Nomor 09/S-HP/XVin, BDG/03/-2009, yang menyebutkan Laporan Hasil pemeriksaan atas Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2008 pada Pemerintah Kota Bekasi ditemukan penyimpangan Rp 83 miliar. Ter-diri atas kekurangan penerimaan Rp 29 miliar lebih atau 3,97 persen dari total cakupan pemeriksaan dan administrasi sebesar Rp 53,9 miliar atau 7,37 persen dari cakupan.
Penyimpangan itu, di antaranya menyangkut pendapatan pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 26,9 miliar dan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPPT) PBB atas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang sebesar-Rp 138,2 juta.
Hasil audit BPK ini akan digunakan Dewan untuk mengkritisi laporan keterangan pertanggung-jawaban (LKPJ) Wali Kota Bekasi, yang seharusnya dilaksanakan masimal tiga bulan setelah tahun berlalu. Jika di dalam LKPJ itu nanti Dewan menyatakan terjadi penyimpangan dana, masalah itu akan ditindaklanjuti sebagai kasus pidana ke lembaga terkait, yakni kejaksaan dan BPK.
Menurut Sutriyono, indikator penyimpangan versi BPK itu terjadi karena dua hal. Pertama, dana pendapatan yang kebanyakan diambil dari sek-tor pajak itu benar-benar belum dipungut oleh pemerintah daerah. Atau, sudah dipungut tetapi tidak diseterokan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). “Belum kami simpulkan faktor sebenarnya,” katanya.
Belum dipungut
Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Tjandra Utama Effendi, membantah disebut adanya penyimpangan dana pendapatan daerah. “Itu bukan penyimpangan, tapi belum dipungut dari pihak yang berkewajiban membayar pajak,” katanya.
Dana minus Rp 83 miliar itu juga disebut sebagai selisih tarif pajak dari penagihan antara yang masih dilakukan dengan peraturan daerah (perda) lama dan perda yang baru diberlakukan. “Perda lama itu tarifnya lebih rendah dari perda baru,” kata Tjandra.
Meskipun begitu, Tjandra tidak dapat menyebutkan nomor perda yang dijadikannya sebagai alasan tersebut. “Tidak hapal,” katanya.
*Republika*