Penyerapan anggaran yang rendah ternyata masih akan menghantui perekonomian Indonesia tahun ini. Padahal belanja pemerintah diharapkan jadi pendorong pertumbuhan.
Rendahnya penyerapan anggaran yang diperkirakan akan terulang kembali bisa dilihat dari realisasi anggaran pada triwulan I tahun ini. Realisasi pencairan anggaran hingga 23 Maret 2009 menunjukkan angka yang tidak berbeda pada tahun-tahun sebelumnya. Angkanya masih berkutat di kisaran 10%.
Menurut Dirjen Perbendaharaan Depkeu Herry Purnomo, belanja pemerintah pusat mencapai Rp75,6 triliun atau 10,6% yang antara lain terdiri dari belanja pegawai Rp24 triliun atau 17%, belanja barang Rp5,3 triliun atau 7,0%, belanja modal Rp4,8 triliun atau sekitar 5%.
Yang cukup besar dari sisi persentase adalah realisasi belanja untuk pembayaran kewajiban utang Rp22,2 triliun atau sekitar 22% terdiri kewajiban utang dalam negeri Rpl5,3 triliun atau 22,2% dan kewajiban utang luar negeri Rp6,8 triliun atau 21,2.
Rendahnya penyerapan anggaran ini membingungkan. Itu disebabkan sebelumnya pemerintah telah mengambil serangkaian langkah terobosan untuk mempercepat penyerapan. Tender sejumlah proyek sudah dapat dimulai sebelum tahun anggaran baru berlaku. Artinya, apabila tender dilakukan November atau Desember tahun lalu, seharusnya pemenang tender sudah bisa diperoleh Februari lalu. Namun, kenyataannya proyekyang berjalan masih minim.
Terobosan kedua adalah mempercepat jangka waktu pencairan dari saat diajukan hingga cair hanya buruh waktu 1 jam. Namun, nyatanya hingga kini pencairan untuk anggaran masih minim.
Ekonom Umar Juoro menyebut rendahnya penyerapan belanja pemerintah itu mengindikasikan reformasi birokrasi yang kurang berhasil. Harusnya para pegawai di pemerintah tidak perlu takut lagi dengan berbagai pengawasan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu disebabkan pada dasarnya, bila tidak melakukan kesalahan, mereka tidak perlu dihukum.
Upaya pemerintah mempercepat proses tender dan juga kebijakan menaikkan anggaran pegawai agar tidak korupsi ternyata belum efektif meningkatkan kinerja para pegawainya. “Itu bukb bahwa reformasi birokrasi tidak berjalan dengan lancar,” katanya.
Menurut Umar, pelaksanaan reformasi birokrasi harusdilakukan secara bertahap menurut prioritasnya. Reformasi birokrasi yang telah dilakukan di lingkungan Departemen Keuangan dengan cara menaikkan gaji harus diimbangi dengan kebijakan yang sama di departemen teknis. “Ditentukan dulu mana yang lebih prioritas. Agar reformasi birokrasi bisa berjalan. Itu tidak bisa serentak.”
Hal senada juga diungkapkan pengamat ekonomi Indef Fadhil Hasan. Pemerintah sudah tidak mempunyai alasan lagi urituk membela penyerapan anggaran yang kecil.”Dulu-dulu mereka mengatakan income kurang. Tapi nyatanya ada tuh.”
Birokrasi yang tidak juga membaik mengindikasikan sense of crisis pemerintah yang kurang. Jika pemerintah pusat saja masih susah untuk menyerap anggaran secara cepat, akan makin parah di daerah. “Jika pemerintah pusat saja sulit, apalagi di daerah. Makin sulit lagi,” pungkasnya.
*Media Indonesia*